HERPES
ZOSTER
A.
Definisi
Herpes zoster adalah radang kulit
akut dan setempat, terutama terjadi pada orang tua yang khas ditandai adanya
nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada
dermatom yang dipersyarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf
sensorik dari nervus kranialis.
Herpes zoster (shingles, cacar
monyet) merupakan kelainan inflamatorik viral dimana virus penyebabnya
menimbulkan erupsi vesikuler yang nyeri disepanjang distribusi saraf sensorik
dari satu atau lebih ganglion posterior.
B.
Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). VZV mempunyai kapsid yang tersusun
dari 162 subunit protein dan berbentuk simetri ikosehedral dengan diameter
100nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm dan hanya virion yang
berselubung yang bersifat infeksius.
Infeksiositas virus ini dengan
cepat dapat dihancurkan oleh bahan organic, detergen, enzim proteolitik, panas,
dan lingkungan pH yang tinggi.
C.
Manifestasi
Klinik
Herpes zoster biasanya mengenai
suatu dermatom, dimana yang paling sering biasanya adalah pada dada dan perut.
Timbulnya erupsi mungkin didahului oleh rasa nyeri di daerah dermatom, dimana
hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesalahan diagnosis sebagai kelainan
dibagian dalam. Rasa nyeri bisa bersifat membakar (panas), tajam (seperti
tersayat atau robek), menusuk atau berupa perasaan pegal. Lesi berupa sederetan
kelompok vesikel unilateral dengan dasar kulit yang eritematosa.
Isi vesikel pada mulanya jernih,
kemudian menjadi keruh. Bisa berupa vesikel-vesikel yang menyebar menjauhi
bagian tengah tubuh, dan pada usia lanjut cenderung lebih banyak. Selain itu,
vesikel yang menyebar luas (zoster diseminata) juga terdapat pada orang-orang
dengan imunosupresi,
Gejala prodromal herpes zoster
biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala ini
terjadi beberapa hari menjelang keluarnya erupsi.
Gejala konstitusi seperti sakit
kepala, malaise, dan demam terjadi pada 5% penderita (terutama pada anak-anak)
dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.
Gambaran yang paling khas pada
herpes zoster adalah erupsi lokalisata dan hampir selalu unilateral. Jarang
erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umunya lesi terbatas pada daerah
kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik.
Erupsi duimulai dengan makulopapula
eritematus. 12-24 jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi
pustule pada hari ke 3. Seminggu sampai 10 hari kemudian, lesi mongering
menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap 2-3 minggu.
Herpes zoster pada orang dewasa
yang sehat biasanya terlokalisasi dan bersifat benigna. Namun pada pasien yang
sistem kekebalannya terganggu penyekit tersebut dapat menjadi berat dan
perjalan kliniknya bisa menimbulkan ketidakmampuan yang akut. Keluhan yang
berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-anak hanya timbul
keluhan ringan dan erupsinya cepat menyembuh. Rasa sakit segmental pada
penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun krustanya sudah menghilang.
Menurut daerah penyerangannya
dikenal :
1) Herpes zoster oftalmika
: menyerang dahi dan sekitar mata
2) Herpes zoster servikalis
: menyerang pundak dan lengan
3) Herpes zoster torakalis
: menyerang dada dan perut
4) Herpes zoster lumbalis
: menyerang bokong dan paka
5) Herpes zoster otikum
: menyerang telinga.
Gangguan pada nervus fasialis dan
otikus dapat menimbulkan sindrom ramsay-hunt
dengan gejala paralisis otot-otot muka (bell’s palsy), tinnitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus, dan nausea.
Bentuk-bentuk lain herpes zoster :
1) Herpes zoster hemoragika
: vesikula-vesikulanya tampak berwarna merah kehitaman karena berisi darah
2) Herpes zoster abortivum
: penyakit berlangsung ringan dalam waktu yang singkat dan erupsinya hanya
berupa eritema dan papula kecil.
3) Herpes zoster generalisata
: kelainan kulit yang unilateral dan segmental disertai kelainan kulit yang
menyebar secara generalisata berupa vesikula dan umblikasi. Kasus ini terjadi
pada orang tua atau pada orang yang kondisi fisiknya sangat lemah, misalnya
dengan penderita limpoma maligna.
4) Zoster sakralis :
keterlibatan segmen-segmen sacral bisa menyebabkan retensi urin akut di mana
hal ini bisa dihubungkan dengan adanya ruam kulit
5) Zoster trigeminalis : herpes
zoster bisa menyerang setiap bagian dari saraf trigeminus, tetapi yang paling
sering terkena adalah bagian oftalmika. Gangguan mata seperti konjungvitis,
keratitis dan atau iridosiklitis bisa terjadi bila cabang nasosilaris dari
bagian oftalmika terkena (ditunjukkan oleh adanya vesikel-vesikel di tepi
hidung). Infeksi pada bagian maksila
dari saraf trigeminus menimbulkan vesikel-vesikel unilateral pada pipi dan pada
palatum.
6) Zoster motoris :
kadang-kadang selain lesi kulit pada dermatom sensoris, serabut saraf motoris
bisa juga terserang yang menyebabkan terjadinya kelemahan otot.
D.
Histopatologi
Ditemukan serbuakn sel limposit
yang mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh
darah kecil, hemoragi fokal, dan inflamasi bungkus ganglion.
Partikel virus dapat dilihat dengan
mikroskop electron dan antigen VZV dapat dilihat secara imunofluoresensi.
E.
Pathogenesis
Selama terjadinya infeksi varisela
VZV meninggalkan lesi di kulit dan permukaan mukosa keujung serabut saraf
sensorik. Kemudian secar sentripetal virus ini membawa melalui serabut saraf sensorik
tersebut menuju ganglion saraf sensorik. Dalam ganglion ini virus memasuki masa
laten dan disini tidak infeksius dan tidak mengadakan multiplikasi lagi, namun
tidak berarti kehi;angan daya infeksinya.
Bila daya tahan tubuh penderita
mengalami penurunan, akan terjadi reaktivasi virus. Virus mengalami
multiplikasi dan menyebar didalam ganglion. Ini menyebabkan nekrosis pada saraf
sehingga terjadi inflamasi yang berat, dan biasanya disertai neuralgia yang
hebat.
VZV yang infeksius ini mengikuti serabut
saraf sensorik sehingga terjadi neuritis. Neuritis ini berakhir pada ujung
serabut saraf sensorik dikulit dengan gambaran erupsi yang khas untuk erupsi
hepes zoster.
1) Neuralgia pascaherpetika
adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini
dapat berlangsung berbulan-bulan sampai berapa tahun. Keadaan ini cenderung
terjadi pada penderita diatas usia 40 tahun dengan gradasi nyeri yang
bervariasi.
2) Infeksi sekunder oleh
bakteri akan menyebabkan terhambatnya penyembuhan dan akan meninggalkan bekas
sebagai sikatriks.
3) pada
sebagian penderita dapat terjadi paralisis
motorik terutama jika virus juga menyerang ganglion anterior, bagian
motorik kranialis. Terjaqadinya biasanya 2 minggu setelah timbulnya erupsi.
F.
Diagnosis
Klinik dan Labolatorik
Dalam stadium praerupsi, penyakit
ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis
infark miokard, koleosistisis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya. Bila
erupsi mulai terlihat, diagnosis menjadi mudah ditegakkan.
Secara labolatorik, memeriksaan
sediaan apus secara Tzanck membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel
datia berinti banyak, demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material
biopsy dengan muikroskop electron serta neurologic.
G.
Pencegahan
Pencegahan penyakit herpes zoster
seharusnya mencakup pencegahan infeksi laten dan pencegahan reaktivasi virus
laten tersebut. Tetapi sampai sekrang belum ditemukan cara untuk pencegahan
tersebut.
H.
Pengobatan
·
Terapi sistemik hanya bersifat
simptomatik, misalnay pemberian analgetik untuk mengurangi neuralgia. Dapat
pula ditambahkan neurotropik , B1, B6, dan B12. Antibiotika diberikan bila ada
infeksi sekunder
·
Local : diberi bedak. Losio kalamin
dapat diberikan untuk mengurangi rasa tidak enak dan mengheringkan lesi
vesikuler.
·
IDU 5-40% dalam 100% DMSO
(dimetilsulfoksid) dipakai secara topical.
·
Pemberian secara oral prednisone 30 mg
perhari atau triamsinolon 48 mg sehari akan memperpendek masa neuralgia pasca
herpetika
·
Imunomodulator seperti isoprinosin dan antivirus
seperti interveron
·
Asiklovir (zovirax) 5 x 200 mg/hr selama
5 hari dapat meringankan penyakit ini.
I.
Pendidikan
pasien
perawat harus mengkaji gangguan
rasa nyaman serta respon pasien terhadap pengobatannya, namun melaksanakan
kolaborasi dengan dokter untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan pada
rejimen pengobatan. Kepada pasien harus diajarkan cara menggunakan kompres
basah atau obat pada lesi dan mengikuti teknik mencuci tangan yang benar untuk
menghindari penyebaran virus.
Aktivitas pengalih dan teknik
relaksasi perlu dianjurkan agar tercapai tidur yang nyenyak, semuanya ini akan
membantu menghilangkan gangguan rasa nyaman.
Pemberi perawatan diperlukan untuk
membantu pemasangan kasa atau perban jika pasien berusia lanjut dan tidak mampu
memasangnya sendiri.
Daftar
Pustaka
Brunner
dan Suddarth.2001.Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Volume 3. Penerbit
EGC,Jakarta.
Harahap,
Marwali.2000. Ilmu Penyakit Kulit.Penerbit
Hipokrates, Jakarta.
Graham
Brown , Robin dan Tony Burn. 2005. Lecture
Notes Dermatologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.